Pertambangan

Proyek Hilirisasi Batubara Lambat, Kementerian ESDM Akan Tebar Insentif

Proyek hilirisasi batubara dinilai lambat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun siap menebar insentif fiskal dan nonfiskal.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah untuk memberikan berbagai insentif untuk mempercepat proyek hilirisasi batubara di dalam negeri. 

Anggota Komisi XII DPR RI Dewi Yustisiana mengungkapkan, Kementerian ESDM perlu turun tangan untuk memastikan hilirisasi berjalan optimal. Menurutnya, insentif fiskal dan non-fiskal, seperti pembebasan pajak, kemudahan perizinan, hingga skema off-taker untuk menjamin kepastian pasar, harus disediakan pemerintah.

“Hilirisasi ini bukan semata proyek ekonomi, tapi bagian dari agenda besar menciptakan ekonomi yang mandiri dan berdaulat,” ujar Dewi dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5).

Namun, Dewi mengingatkan, hilirisasi batubara menghadapi tantangan besar. Seperti kebutuhan investasi yang tinggi, ketergantungan pada teknologi asing, serta ketidakpastian harga produk hilir dibandingkan batu bara mentah.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mendorong hilirisasi batubara.

Kebijakan tersebut meliputi pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada BUMN dan badan usaha swasta yang mengembangkan hilirisasi. Serta perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP/WIUPK yang telah ditetapkan.

“Selain itu, pemerintah juga memberikan jangka waktu operasi produksi hingga 30 tahun untuk pertambangan batubara yang terintegrasi dengan hilirisasi, dengan jaminan perpanjangan setiap 10 tahun hingga cadangan habis,” kata Rita kepada Kontan, Kamis (15/5).

Rita menambahkan, kebijakan lain mencakup pengenaan tarif iuran produksi atau royalti sebesar 0% untuk jenis hilirisasi tertentu.

Butuh Waktu

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai, keekonomian proyek hilirisasi, seperti konversi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME), dipengaruhi sejumlah faktor.

Mulai dari keterbatasan teknologi, kepastian pasar, skema bisnis dengan off-taker seperti Pertamina, hingga tantangan pembiayaan.

“Proyek berbasis batubara sulit mendapat pendanaan, dan jika ada, biaya pendanaan cenderung mahal,” ungkap Hendra kepada Kontan, Kamis (15/5).

Hendra menambahkan, Tiongkok menjadi negara yang telah maju dalam konversi batubara, tetapi membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun. Sementara itu, negara produsen batubara lain seperti Australia, India, Kolombia, dan Mongolia belum mengembangkan gasifikasi batubara.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menilai insentif yang ada, seperti pembebasan royalti 0% berdasarkan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, sudah cukup signifikan.

“Ini luar biasa karena negara tidak mendapat PNBP dari royalti,” ujarnya Kontan, Kamis (15/5).

Namun, ia menekankan perlunya tambahan insentif non-fiskal, seperti penyederhanaan perizinan, kemudahan pembebasan lahan, dan jaminan off-taker untuk meningkatkan daya tarik investasi.

Bisman juga mencatat Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan Tiongkok, Amerika Serikat, atau India dalam hilirisasi batu bara. Faktor utama yang menjadi pembeda adalah kebijakan, jaminan kepastian hukum, serta ketersediaan modal dan investasi.

Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan tujuh perusahaan pertambangan batubara dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama wajib menjalankan proyek hilirisasi batubara.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Tri Winarno mengatakan, kewajiban hilirisasi batubara menjadi syarat mutlak, khususnya bagi para perusahaan PKP2B yang mendapatkan perpanjangan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Terkait dengan hilirisasi batubara, hilirisasi batubara diwajibkan kepada pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi artinya ini hanya berlaku bagi 7 PKP2B generasi pertama,” kata Tri dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR RI, Selasa (6/5).

Tri menuturkan, dalam pelaksanaannya ke tujuh perusahaan tersebut masih mengalami sejumlah kendala sehingga diperlukan diskusi lebih lanjut mengenai pelaksanaan dari proyek hilirisasi batubara.

Adapun, tujuh perusahaan pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batubara) generasi pertama yang diwajibkan untuk melakukan hilirisasi, di antaranya PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Adaro Andalan Indonesia (AADI), PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Tanito Harum, PT Berau Coal.

Tujuh perusahaan tersebut wajib melaksanakan hilirisasi batubara, dengan total investasi US$ 11,47 miliar atau setara Rp 188,67 triliun (kurs Rp 16.449 per dolar AS).

Tri merinci daftar proyek hilirisasi batubara dari masing-masing perusahaan. PT Arutmin Indonesia menggarap proyek metanol dan amonia dengan total investasi sebesar US& 2,7 miliar, sementara PT Kaltim Prima Coal (KPC) fokus pada proyek metanol senilai US$ 2,17 miliar.

PT Kideco Jaya Agung mengembangkan dua tahap proyek, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) pada tahap komersial I, serta produksi amonia dan urea pada tahap komersial II.

Sementara itu, PT Multi Harapan Utama (MHU) dan PT Tanito Harum masing-masing mengembangkan proyek semikokas dengan nilai investasi sebesar US$ 81,3 juta dan US$ 42,23 juta. Adapun PT Berau Coal menggarap proyek metanol dengan nilai investasi US$ 774,8 juta.

Secara keseluruhan, Kementerian ESDM mencatat total investasi dari tujuh perusahaan dalam proyek hilirisasi batubara ini mencapai US$ 11,47 miliar. 

sumber: kontan.co.id

Bang Ferry

Author: Bang Ferry

Leave a Reply